Home > General Knowledge > Menuntut Kesempurnaan atau Menerima Kekurangan yang Dapat Ditolerir?

Menuntut Kesempurnaan atau Menerima Kekurangan yang Dapat Ditolerir?

Hari ini saya belajar mengenai pengelolaan paradigma. Sebenarnya, hal ini sudah saya terapkan secara tidak langsung. Tetapi, pidato yang disampaikan Rudi Rubiandini, Kepala SKK Migas, pagi tadi menstimulasi saya untuk menuliskan pengalaman saya dalam menerapkan pengelolaan paradigma atau sudut pandang.

Biasanya, engineer di perusahaan migas selalu mempraktekan cara pandang bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan prosedur yang tertulis, telah di-review dan disetujui oleh manajemen. Hal ini mungkin didorong oleh kenyataan bahwasannya pekerjaan di sektor migas memiliki resiko yang tinggi.

Pak Rudi Rubiandini menawarkan paradigma yang unik tadi pagi. Kira-kira bunyinya “Lakukan apapun selama hal itu jelas-jelas tidak dilarang”. Jika ditelaah lebih dalam, paradigma ini mendukung pengembangan inovasi. Jadi, setiap engineer bebas berinovasi dan berkreasi selama inovasi tersebut tidak jelas-jelas terlarang. Konsekuensinya, setiap inovasi tersebut harus memiliki landasan berfikir dan teknis yang jelas dan bertanggung jawab. Saya rasa inilah tantangan yang diharapkan engineer-engineer yang haus akan ide terobosan baru, tapi bukan untuk engineer yang bermain aman dan bukan juga untuk engineer yang kurang cerdas dalam menelurkan ide baru.

Kembali pada apa yang telah saya terapkan mengenai pengelolaan paradigma. Beberapa orang berfikir untuk mengejar kesempurnaan. Menempuh pendidikan setinggi-tingginya di institusi dengan reputasi yang sehebat-hebatnya. Ada juga yang berfikir untuk memperoleh kehidupan yang sesempurna-sempurnanya dengan pendamping yang seindah-indahnya serta pendapatan yang setinggi-tingginya di sebuah badan yang sehebat-hebatnya serta menempati posisi yang setinggi-tingginya untuk memberikan pengaruh yang seluas-luasnya dalam rangka bermanfaat bagi orang sebanyak-banyaknya. Banyak sekali kesempurnaan yang mungkin dapat memacu kita untuk mengerjanya.

Akan tetapi, kalau kita berfikir dari paradigma “cara bersyukur”, mungkin ceritanya akan berbeda. Kita akan dihadapkan pada istilah kepasrahan dalam menerima kenyataan. Tentu saja, maksudnya adalah menerima kenyataan yang bersyarat. Atau dengan kata lain, menerima kekurangan yang dapat ditolerir. Kita tidak dapat mengharapkan kesempurnaan yang instan. Banyak sekali variabel kehidupan yang memaksa kita untuk “menerima kekurangan yang dapat ditolerir terlebih dahulu. Lantas kemudian, dengan rasa syukur tersebut, silahkan berlari kencang mengejar kesempurnaan (-bukan menuntut kesempurnaan).

Saya rasa, inilah yang disebut dengan realistis berprinsip.

Salam,

RvD

  1. March 25, 2014 at 1:18 pm

    Tidak ada mahluk yang sempurna, sudah pasti harus mentolerir kekurangan yang ada.

  1. No trackbacks yet.

Leave a reply to Toko Bunga Cancel reply